Aku selalu merindukan wajah itu, wajah teduh nan cerah yang setia mengunjungiku sekali tiap minggu. Kulihat tawa anak–anakku begitu lebar setiap kali ia berbagi cerita baru tentang sesuatu. Satu hari dalam seminggu sangat kutunggu di akhir waktu….

“Tak bisakah kau datang setiap hari?” cetusku mempertanyakan kesediaannya berkunjung padaku.

Nafasnya terhela pelan dan berat, udara menerobos keluar cuping hidungnya yang tak seberapa mancung, tapi sungguh kecantikan hatinya telah memikatku.

“Ma’af, sepertinya tidak dalam waktu dekat ini, saya masih mempunyai beberapa komitmen yang harus saya penuhi. Insyaalloh lain kali akan saya pertimbangkan….”

“Apakah kau tak peduli akan nasib kami?” tanyaku mencoba merengek.

Sekali lagi nafasnya terhela dengan berat dan dia tersenyum, wajah cerahnya mengatakan padaku bahwa ia sangat peduli dengan kami.

Tiga bulan sudah ia pergi merantau meninggalkan kampung halaman tempatnya dibesarkan. Hati ini senantiasa berharap agar ia setidaknya datang menjengukku, kalau boleh meminta lebih, agar ia mau tinggal denganku, berbagi waktu dan kebahagiaan baru bersama anak – anakku. Do’aku terus terlantun untuk kebahagiaan yang tengah ingin diraihnya. Hingga….

“Baiklah, aku akan berbagi waktu denganmu dan anak-anakmu setiap hari….” Cetusnya saat berkunjung di awal kepulangannya dari rantau.
Dia kembali padaku. Menatap wajah cerahnya, maka aku pun kembali berani bermimpi hari cerah akan kembali melingkupiku.
“Aku akan membuatmu kembali bersinar dan dilirik orang,” bisik lembutnya padaku.

Senyum tulus dan tekad besarnya untukku sungguh membuatku haru. Melihat keberadaanku dengan fasilitas seadanya, tak ada apa pun yang menarik di dalamku. Mainan aku tak punya, jangan kan mainan luar ruangan, mainan dalam pun aku tak punya. Lantaiku bersemen kasar dengan banyak lobang semut mengelilingiku. Dua orang yang selama ini menemaniku telah terjebak pada rutinitas mengajar harian tanpa memikirkan nasibku ke depan, apalagi masyarakat sekitarku? Tak mau lagi mereka melirikku! Padahal banyak di antara mereka yang tinggal di dekatku memilih untuk pergi ke tempat yang lebih jauh demi pendidikan anak-anaknya. Meski biaya lebih mahal tapi fasilitas mereka memadai kilah mereka saat memilih meninggalkanku. Dua orang temanku hanya bisa mengelus dada tanpa mampu berbuat apa-apa. Aku pun tak bisa menyalahkan mereka, masyarakat yang semestinya merawat dan menjagaku tak lagi peduli, sementara keluarga pendiriku sudah menyerahkan segala sesuatu yang berhubungan denganku pada masyarakat sekitarku. Oalah nasib-nasib….

Sekarang ada sesosok wajah cerah yang mau berbagi denganku, merangkai waktu ke depan bersamaku, mengisi cahaya dalam hatiku, berbagi ilmu bersama denganku dan dua orang teman yang telah lebih dulu bersamaku. Sungguh mengharukan jika dia mau bermimpi besar untukku.

Satu bulan dia menemaniku, belum ada perubahan yang terasa, kulihat dia lebih suka di pojok mengamati kegiatan berlangsung, sesekali ia turun tangan menenangkan anak-anakku yang gaduh atau yang sedang gundah hatinya. Kulihat ia mulai mencatat dan mulai mengatur strategi yang dimilikinya.

Pagi itu, kala kegiatan akan berlangsung si wajah cerah menemui kedua temanku, teman yang telah begitu setia menemaniku, menerimaku apa adanya, dan terus menjagaku dengan kemampuan mereka, menahan gerusan persaingan dimana-mana. Sungguh suatu cara bertahan yang tak mudah!

“Ma’af Bu, apa tidak sebaiknya kalau kelompok A dan B kita pisahkan kembali?” tanyanya.

Dua orang temanku terkejut! Pandangan mereka mempertanyakan kesanggupan wajah cerahnya. Dengan senyum ragu, mereka pun berkata, “Baiklah, kita akan coba minggu depan!”

“Ijinkan saya yang menghandel kelompok A,” kembali si wajah cerah meminta.

Sekali lagi dua orang temanku terkejut! Mereka saling berpandangan, namun akhirnya mereka mengangguk tanda setuju. Hatiku sendiri dag dig dug, apa yang akan dilakukan si wajah cerah itu bersama anak-anakku?

Kulihat bisik-bisik orangtua saat anaknya mulai dipisah sesuai dengan kelompoknya, aku merasa khawatir dengan si wajah cerah, aku takut dia akan terpental karena impian besarnya untukku.

“Lihat anak-anak kita, jangan sampai mereka diajari hal-hal yang tidak semestinya….” Bisik seorang Ibu mulai menghembuskan kekhawatirannya.

“Iya, mana kita tahu pendidikannya itu akan membawa hal baik buat anak kita….” Timpal seorang Ibu sambil melirik tajam teman baruku.
Wajah cerah itu memerah sesaat namun kemudian tersenyum seakan berkata, “Terima kasih atas kritik pedasnya, itu adalah PeEr ke depan yang harus saya selesaikan….”

“Bu, njenengan jangan terlalu berlebihan dalam mengeksploitasi anak, apa kata wali murid nanti?” tegur temanku yang sudah berputra tiga.

“Saya tidak mengeksploitasi, saya mengeksplorasi!” tegas si wajah cerah membela keyakinannya.
“Saya mohon jangan sampai membuat orangtua khawatir tentang keberadaan anaknya disini, Nggeh?!” sekali lagi temanku yang berputra tiga itu menegaskan peringatannya.

Si wajah cerah kian mengukuhkan dalam hati bahwa ia pasti bisa membuktikan keyakinannya.
“Olaopo seh sekolah kok katek nggowo godong barang?” tanya seorang Ibu pada anaknya.
“Ora weroh! Jare Bu guru kudu nggowo 10 iji, Buk!”
“Godong opo?” tanya Ibunya.
“Opo ae pokok godong!”

Maka sang Ibu pun menggeleng-gelengkan kepala sambil membantu sang anak menyiapkan daunnya.
“Buat apa sih Bu, kok menyuruh anak-anak membawa daun segala?” tegur seorang wali muridku.

Wajah cerah itu semakin cerah dengan senyum sumringahnya, “Kalau Ibu mau tahu, monggo bergabung dengan kami saat kegiatan bersama,” tawarnya tanpa melepas senyum.

“Nggak lah! Makasih! Kamu kan gurunya!” ketus suara sang wali murid.
“Maturnuwun….” Sahut si wajah cerah sambil memimpin anak-anakku masuk ruang belajar.
Melihat sikap wali muridku, maka aku pun berkonsentrasi mengikuti kegiatan bersama teman berwajah cerahku.

Selesai do’a pagi, melompat, menari, berbagi tawa dan semangat, maka inilah apa yang mereka lakukan. Anak-anak mulai di ajak berhitung satu sampai sepuluh dengan memindahkan daun dalam plastik yang mereka bawa dari rumah ke atas piring kertas yang sudah dibagikan. 

Setelah itu, anak-anak diajak mematahkan lidi berukuran 2cm, dan mulailah anak-anak merangkai membentuk sebuah mahkota dari daun, antara satu daun dan daun berikutnya direkatkan dengan cara menusukkan patahan lidi 2cm. maka kegiatan pun berlangsung dengan hening namun bersemangat, ada yang dengan 10 daun mahkotanya sudah dapat dipakai, ada yang harus menambah 2 helai, 4 helai, dan seterusnya. 

Anak-anak sangat senang sekali, sisa daun yang ada dibuat kalung dan gelang dironce dengan bantuan tali rafia, betapa riuh anak-anak mengomentari hasil buatan mereka.

Jadi Anda tahu apa yang mereka kerjakan? Ya, mereka mengenal konsep membilang dan konsep penjumlahan dalam kreativitas mereka.

“Bu, aku cantik, kan?” tanya seorang gadis kecil kepada si wajah cerah sambil memamerkan hasil kreasinya.

Si wajah cerah itu pun berdiri di atas lututnya, menatap manik mata si gadis kecil sambil berkata, “Kamu cantik! Bu guru bangga dengan kreasimu!”
Senyum gadis kecil itu melebar. Dengan ringan dia melenggang keluar untuk istirahat. Si wajah cerah sibuk membantu anak-anakku yang lain, mereka yang berusaha untuk menyelesaikan kreasinya hingga semua anak selesai dengan tugasnya.

Setelah semua anak keluar untuk bermain di halaman. Si wajah cerah menghempaskan pantatnya di atas tempat duduk diiringi tarikan nafas lega, mulailah dia dengan sebentuk table penilaian bagi anak-anaknya. Tiba-tiba wajah cantik gadis kecil itu menyembul di pintu sambil beruraian air mata….

Bergegas dia bangun dan mendekati gadis kecil itu, “Ada apa sayang?” tanyanya lembut.
“Jare Ibuk aku koyok wong gendeng!”
“Astaghfirullohal’adhiiim…. Terus?”
“Terus mahkota dan kalungku ditarik dan dibuang….. huhu….. huuuu….” Tuturnya sambil menangis.
“Oh, sayang, Ibumu belum mengerti maksud kita, Nak!” hibur si wajah cerah dengan lembut.

Dipeluknya si gadis kecil dengan cinta yang besar. Di sudut matanya ada sebuah jendela kecil mengalirkan setitik airmata, hatinya perih melihat cara sang Ibu memperlakukan anaknya.
“Sekarang apa yang bisa Ibu bantu buatmu?”
“Aku mau bikin lagi, Bu!” cetus si gadis kecil.
“Ibu bantu, asal cantik kembali tersenyum!”
Dua anak manusia berbeda usia itu pun berpandangan dan tersenyum indah…. 
Melihat itu, maka aku pun mulai meyakini mimpi besarnya untukku. Kembali pada fungsi dan tujuan awal keberadaanku, “Mencerdaskan Anak Indonesia”.

(Semoga Alloh senantiasa menjaga kelestarianmu….)

#Inspirasiramadan #dirumahsaja #flpsurabaya