Sejak kecil aku selalu berharap untuk pergi dari Malang, pindah ke suatu tempat  dimana tak ada orang yang mengenaliku. Hidup normal adalah sebuah harapan kosong sejak Bapak ku dinyatakan sebagai pembunuh. Sekeras apapun aku berusaha menjadi baik dengan melakukan hal baik, stempel anak pembunuh telah terlanjur kuterima. Maka hari-hariku sejak kecil telah menjadi kelabu karena banyaknya airmata.  

Ketika orang bertanya, "Apakah kau mencintai Bapak mu (yang pembunuh)?" 



Aku tak mampu mengelak, aku mencintainya sekalipun banyak orang melihatnya seperti monster berkepala dua.  Ah, andai saja.... 

"Naimah!" Teriakan Bapak memanggilku, bergegas kutinggalkan adonan kedelai bercampur ragi yang siap cetak dan berlari mendapatkan Bapak di teras depan. Wajah gagah bercambang lebat, bermata bulat dengan sinar mencorong tajam menusuk ulu hatiku.

"Imah...," Suara Bapak melembut, tangannya bergerak mengibas ke depan memberikan isyarat padaku untuk maju. Aku merangsek, menggapai tangannya dan menggenggam dengan hangat. Sinar matanya meredup, telapak tangan kasar Bapak mengusap-usap punggung telapak tanganku. Setangkup rasa haru menyerbuku. Terlempar desah nafas resah Bapak saat membuang pandangan ke langit yang mulai gelap. 

"Apakah adonan tempe siap di bungkus?" Aku mengangguk dan tersenyum sembari berdiri, meraih gagang kursi roda dan mendorongnya ke dapur. Bapak paling suka proses mengemas tempe. Bisa kuamati gurat-gurat bahagia tampak jelas di wajahnya. Bapak memang luar biasa. 

*****

"Sepeda gerobak Bapak sudah siap kah?"

"Sudah siap Pak!"

Dengan senyumnya yang lebih mirip seringai, Bapak mengayuh kursi rodanya ke halaman depan. Dengan sigap Bapak menggeser tubuhnya naik ke sepeda gerobak.

"Jangan lupa nanti yang ambil pesanan tempenya suruh bayar lunas!" Teriak Bapak ditingkahi suara mesin sepeda gerobaknya yang siap berangkat.

Bapak memang orang yang tangguh. Lantas kenapa Bapak disebut pembunuh oleh orang-orang itu?

*****

"Bapak, apa Bapak tak ingin meluruskan tuduhan orang-orang itu?" Tanyaku disuatu senja saat menemani Bapak menyeruput kopinya.

"Untuk apa?"

"Setidaknya mereka akan diam menggunjing Bapak."

"Apa kau percaya gunjingan mereka?"

"Bukan begitu, Pak!" Sergahku.

"Wes cukup! Bapak gak perlu semua orang percaya, cukup anak Bapak saja. Biar semua orang menggunjing Bapak. Bapak tak punya waktu meluruskan semuanya."

Dan, kembali obrolan itu terhenti.

*****

"Heh, Naimah! Kamu gak takut sama Bapakmu? Ibumu dulu mati ditangan Bapakmu." Suara perempuan paling usil di Kampung menyapa gendang telingaku.

Ada sebagian rasaku terusik dengan pernyataannya. Namun aku tak ingin tahu....

"Hati-hati ya, sekali membunuh, sampai kapan pun stempel sebagai pembunuh sudah nempel di wajah Bapakmu...."

Bergegas kutinggalkan Bu Astuti yang terus nyerocos.

"Jangan dengar omongannya Astuti, Nduk...."

Terlihat sosok wajah ayu, kalem, dan teduh itu. Kuangguk-anggukkan kepala mengiyakan.

Sesampai di rumah kulihat Bapak melakukan rutinitas sholat dhuha-nya dengan ďuduk diatas kursi roda. Aku menyayangi Bapak dan aku mempercayainya.

*****

Ramadhan telah kulampaui 16 kali, sekarang adalah Ramadan ke-17. Aku telah mahir membuat tempe, mengemas, dan menjualnya.

Di hari ke-17 Ramadan Bapak mengajakku duduk di halaman depan sepulang taraweh di masjid.

"Imah.... Sudah saatnya kamu tahu apa yang sesungguhnya terjadi saat itu...."

"Imah tak usah mengerti tidak apa-apa Pak...." Sanggahku.

Diam-diam aku takut bila saja apa yang digunjingkan orang kampung itu benar.

"Tidak Imah, sudah 17 tahun usiamu di malam 17 ramadan tahun ini. Dengarkan saja Bapak bicara, namun apa yang Bapak ceritakan padamu tak mengurangi rasa sayang Bapak padamu. Bagaimana? Kau siap mendengar cerita Bapak?"

Aku mengangguk. Namun saat anggukanku selesai kulihat tubuh Bapak melorot dari kursi rodanya dengan lunglai.

"Bapaaaak!!!"

Dan segera saja rumahku dipenuhi para tetangga yang membantuku merawat jenazah Bapak.

"Sudah kubilang apa, rumah ini tiap 17 kali ramadan di malam 17 pasti ada yang mati!" 

"Astuti!" Terdengar seruan Bude Darmi menghentikan celotehnyaa. 

Kulirik tajam wanita bernama Astuti itu.

(Part One)

Saya hanya tak ingin menyerah dengan mudah dalam perjuangan saya menuju sehat kembali. Terimakasih FLP.

#inspirasiramadan #dirumahsaja #flpsurabaya