Sumber gambar nasihatsahabat.com


"Lebaran tahun ini kemana Mi? tanyaku kala Ramadhan hampir menapaki ujungnya."

"Kita ikut Papi-mu pulang kampung, di Mbiru sana masih banyak keluarga abimu, hampir satu kampung malah." Terang Mamiku.

"Asyik!" seruku sambil melompat kegirangan.

"Fai, kamu sudah bukan anak kecil lagi!" kata Mami mengingatkan.

Aku tersenyum malu.
Maklum, sudah hampir 8 tahun kami tak pernah berkunjung ke kampung keluarga Papi-ku. Karena sepeninggal Simbah Putri, Papi semakin sibuk dengan pekerjaannya, Mamiku juga sangat sibuk dengan bisnis catering-nya. Jadi mana mungkin kami libur di saat liburan, bukankah pesanan catering semakin banyak saat liburan.

Aku -bahkan- hampir lupa berapa jumlah saudara Papiku dikarenakan sangat seringnya kami melewatkan banyak momen untuk berkumpul bersama keluarga besarnya.

Kalau Mami anak tunggal, sepeninggal eyang putri dan eyang kakung di kala menunaikan Haji beberapa waktu lalu, praktis tidak akan ada lagi yang kami kunjungi dari pihak Mami. Pakde dan Budhe dari Mami pun aku tak pernah tahu dimana rimbanya, karena kata Mami tak pernah ada yang menyambung silaturahmi di keluarganya, innalillahi wa inna ilaihi rojiuuun.

Seingatku terakhir kali aku diajak berlibur ke kampung oleh orangtuaku, saat menjelang ujian akhir nasional waktu SMP. Masih ada nenekku yang dimintai doa untuk keberhasilanku menyelesaikan tugas yang paling menakutkan.

Tiada lama berselang setelah UAN berakhir, kami pulang kembali ke kampung Papi untuk Mbah putri, kala itu kondisi beliau sangat kritis, jadi-lah aku ditinggalkan di kampung untuk menemani Mbah Putri hingga kepergian beliau memenuhi panggilan sang penguasa hidup. Innalillahi wa inna ilaihi rojiuuun....

Setelah itu aku pun sibuk dengan tugasku sebagai pelajar, dan di kala libur aku menjadi pekerja sosial. Kembali kesana, mengingat semua saudara yang hampir tak pernah bertatap muka, hmmhh. Perjalanan yang -pastinya- sangat mengasyikkan.

Kami tiba 3 hari menjelang lebaran, rumah simbah putri masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah, tak ada satu pun dari putra putrinya yang menempati rumah utama, semua yang tinggal disana membuat rumah tinggal mengelilingi rumah utama, Benar  benar menyenangkan. Hanya rumah Pakdhe Musa yang berbeda kampung dengan keluarga inti, dan tentunya keluarga kami yang sejak aku kecil memilih tinggal di kota paling sibuk di Indonesia. Jakarta!

Reuni keluarga yang menyenangkan, baru aku tahu keluarga Papiku 9 bersaudara, meninggal satu sehingga karenanya Papiku menjadi si bungsu. Keluarga begitu bersemangat karena tahun ini semua keluarga berkumpul. Kami sepakat untuk berkumpul di rumah utama setelah sholat ied. Karena semua anak cucu berkumpul, rumah pakdhe dan budhe semua penuh.

Akhirnya Pakdhe Musa (yang sedari kecil kupanggil Abi Musa) mempersilahkan keluarga kami menempati rumah utama selama kami berada disana. Aku selalu senang dengan keluarga beliau, sederhana dan religius! Bahkan aku ingat uni-lah yang mengajarkanku untuk menegakkan sholat, bukan hanya mengerjakannya. Uni adalah anak tertua Abi Musa, cucu pertama keluarga dari Papiku, Juga anak perempuan pertama yang berhijab di keluarga besar papi, diikuti oleh yang lain, dan pada akhirnya olehku (ihhh, jadi tersipu malu.)

*****
"Nggeh Bi, Nggeh!" Teriak Uni dalam ketaksadarannya. Kami saling pandang satu sama lain, aku terus memijat  jari  jari tangannya, biasanya kalau ujung jari -  jari dipelintir memutar akan membantu orang cepat siuman. Tapi ini?

"Nggeh Bi! Nggeh... kulo ikhlas.... ikhlas Bi...." Suara Uni timbul tenggelam dalam ketaksadarannya. Matanya masih mengatup rapat, mulutnya tak henti menyenandungkan asma Alloh, wajahnya penuh dengan bulir  bulir airmata. Aku tercenung lama, mimpi itu?

"Gimana Nduk, saudara banyak tapi tak ada yang mampu menolong Abimu...." ujar Umi Musa dengan wajah kuyu meski terlihat ketegaran di matanya, sambil terus mengelus  elus punggungku Umi Musa mengajakku berjalan beriringan.

"Memang Abi kenapa, Mi?"
"Abimu disidang di ruang sebelah,"  kata Umi sambil menunjukkan ruangan yang katanya tempat Abi disidang.

Aku diam memandang Umi tak mengerti, "Yang sabar ya Mi...." hiburku.

Umi mengajakku masuk ke ruang keluarga, semua saudaraku (putra  putri Abi dan Umi Musa) tengah berkumpul, ada yang tengah tidur  tiduran, ada yang tengah menunggui seseorang yang tampak terbaring lemah, siapa?

"Mbah?" cetusku dipenuhi keterkejutan.
Mbah tersenyum ke arahku, tangannya yang tirus terangkat mencoba menggapai tanganku, aku bersimpuh di dekatnya, kucium tangannya, "Apa kabar Mbah?"

"Alhamdulillah baik, kamu sudah lama tidak kesini?"
"Maafkan Fai Mbah, Fai sibuk mengajar...."

Sekali lagi Mbah tersenyum, dalam pandangan matanya kutemukan berjuta kata yang berusaha menceritakan kecemasan dan pengharapan karena Abi tengah disidang di ruang sebelah. Setelah mengobrol dengan Mbah sebentar Umi Musa mengajakku menemui Uni. Uni (sebenarnya nama kecil Seruni, tapi karena sudah terekam dengan baik dalam memori, jadilah sampai kami besar dan Uni sudah mempunyai empat orang anak, aku masih jua memanggil Uni () mempunyai 9 orang adik yang semuanya -boleh dibilang- telah jadi orang.

"Uni?"
Wajah penuh senyum itu menghampiriku, kerudungnya yang besar berkibar ditiup angin, aku agak heran, ada hembusan angin lewat mana? Padahal setahuku ruang itu tak punya jendela, kan berada tepat di tengah  tengah rumah yang menjadi sentra rumah Abi dan Umi Musa?

"Fai, apa kabar?"
Bergegas langkahnya kian mendekat, seorang gadis kecil yang cantik berbusana muslim putih terang tiba  tiba berdiri di depannya, gadis kecil itu memandangku dan tersenyum padaku, "Yasmin!" ucapnya sambil tangannya terulung. Aku menyambut uluran tangannya, Uni terpegun menatapku, "Yasmin.... Yasmin...."

Suara Opick membangunkanku dari tidur panjangku, Alloh Maha Besar begitu mendayu merayu telingaku yang masih tertutup udara beku, mataku masih mengatup dengan rapat.

"Assalamu'alaikum Fai...."
"Mas Fachry? Wa 'alaikumsalam...."
"Fai, berita duka, Abi Musa meninggal dunia tadi jam 03.20 menit."
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un...."
"Bilang Mami dan Papi ya?"
"Iya Mas!"

Tut! Tut! Tut! Sambungan telepon itu terputus, aku melihat ke jam dinding kamarku, baru saja? Abi disidang? Sendirian? Tak ada teman? Meski begitu banyak saudara yang dimilikinya Abi disidang sendirian, Alloh! Aku pun tersungkur jatuh, lunglai dalam ketakberdayaanku.

Selesai sholat Subuh aku turun ke ruang utama, gema takbir berkumandang menggedor nurani yang paling dalam, betapa kami lemah tanpa Engkau ya Rob Kuketuk kamar Mami yang tepat berada di sebelah kanan ruang utama. "Mi, Assalamu'alikum, Mi...."

Daun pintu kamar Umi pun terbuka, "Wa'alaikumsalam wa rohmatullohi wa barokatuh. Ada apa Fai?"

"Abi Musa meninggal Mi...."
"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un.... Kapan?"
"Barusan, Mi! Kata Mas Fachry jam 03.20, jadi bagaimana Mi?"

"Selesaikan dulu tugas memasak hari ini, begitu selesai kita bersama  sama orang kampung pergi melayat kesana, .... Sekarang suruh salah satu anak rumah bawah untuk memberitahukan berita duka ini pada orang kampung. Cepetan!"

Berlari  lari kecil kuturuni tangga depan memanggil Taufan, "Taufan! Taufan!"

Seorang lelaki berbadan kecil muncul dengan wajah segarnya -habis mandi mungkin!-, "Ya Mbak, ada apa?"
"Tolong bilang kepada Pak Agung kalau Abi Musa meninggal tadi pagi, sekarang!"
"Iya Mbak!"

Tanpa menunggu lagi, tubuh kecil itu telah berlari untuk mencapai perkampungan. Tiada berapa lama terdengar pengumuman dari corong masjid kalau Abi Musa meninggal dunia. Pengumuman dalam suasana takbir yang membahagiakan. Sekali lagi innalillahi wa inna ilaihi rojiuun.

"Nggeh Bi! Enngggeeeeh!" Teriakan Uni memutuskan ingatanku pada kejadian pagi tadi.
"Nggeh Bi! Uni ikhlas Bi! Uni ikhlaaasss...." Teriakan itu begitu menggetarkan hatiku. Tanpa terasa airmata mengalir dengan cuek di pipiku, betapa terpukulnya Uni ditinggal oleh Abi Musa.

Salah satu kakakku yang bernama Yanti -menantu dari Budhe (kakak ke-4 Papi)- yang kuketahui adalah seorang Guru Ilmu Alam tengah mencoba memberinya minum. Air minum itu terus saja disemburkannya keluar, Uni tak mau! 

"Uni tak sadar dari tadi pagi...." cetus Rania (adik bontot Uni).
"Kak Yanti, Yasmin itu artinya apa?" tanyaku pelan.
"Apa Fai?"
"Yasmin itu artinya apa?"
"Yasmin, Yasmin...."
"Iya, Yasmin!" tegasku.
"Itu nama ilmiah dari bunga melati, kenapa?"

"Enggak!" aku menggeleng  gelengkan kepala, menekuri wajah Uni kembali, dia masih juga tak mau -atau belum mampu- membuka matanya, sesekali jari jemari tangannya yang berada di genggamanku bergerak  gerak, namun kemudian lemas kembali.

"Mbah, kulo nitip Abi nggeh Mbah! Kulo nitip Abi...." mata itu masih jua terpejam.
"Mboten Bi, Mboten! Kulo ikhlas Bi! Tapi kulo mboten sanggup ngeteraken Abi...."
"Ikhlaaasss Bi, ikhlaaasss...." tangan Uni terulung ke depan seakan hendak bersalaman dengan seseorang, tentu saja hal itu mengagetkan semua yang hadir, sesaat kemudian lemas kembali dan Uni pun terkulai dengan lemah.

Rania kembali memasuki kamar, "Mbak, Kafan Abi mau ditutup, Mbak tidak ingin melihat Abi untuk terakhir kali?" 

Tak ada sahutan. Kepala Uni masih jua terkulai, bibirnya menyenandungkan nama indahNYA. Uni terlihat begitu lelah, tak ada yang mampu menyadarkannya.

"Tadi Uni sudah salim sama Abi -agaknya-, jadi menurut hemat Mbak, jangan lagi ditunda, kasihan jasad Abi terlalu lama menunggu untuk dikebumikan." Ujar Kak Yanti berusaha tenang.

Tanpa berbicara apapun Rania keluar kamar, suasana kembali hening. Aku membisiki telinga Uni menemaninya melantunkan nama indahNYA, "Alloh.... Alloh...."

"Nggeh Bi! Enggeh!" kembali Uni berteriak.

"Assalamu'alaikum....." cetus Uni dengan tekanan emosionalnya yang sangat dalam. Membuat hatiku kembali bergetar!
"Wa'alaikumsalam wa rohmatullohi wa barokatuh.... Enggeh Bi kulo sumerep dalane mbalek!" terdengar suara Uni lirih tapi tegas.

Tiada berapa lama kemudian mata Uni terbuka dan mulai melihat orang  orang yang mengelilinginya. "Fai?"
Aku tersenyum, perih! "Uni mau duduk?"

Lemah kepala itu berusaha mengangguk, dengan dibantu saudara  saudara yang lain akhirnya Uni pun bisa duduk bersandar tumpukan bantal. Uni masih lunglai, matanya mengerjap-erjap! Kucium hangat pipinya, aku merindukanmu Uni! Kau-lah yang pertama kali mengajarkanku tata cara sholat yang benar, bagaimana aku akan lupa hal itu meski ada beberapa hal yang tak pernah kudapati dalam komunitas tempatku tinggal sehari  hari.

"Mukena.... tolong mukena...." Rania kembali muncul dengan gaduh.

Tangan Uni terayun dan menangkap lengan Rania, "Nia, apapun sisanya buang semua, tak ada yang boleh disimpan!" tegas terdengar perintah Uni meski masih lirih.

Nia mengangguk sambil berlalu, tiada berapa lama terdengar dimulainya sholat jenazah, suasana khusyu' dan mendirikan kudukku, tiba  tiba aku takut mati! Tiba  tiba saja aku merasa tak punya bekal apa  apa untuk kembali! Ah....

Suasana sepi, satu persatu pergi, tinggal aku dan Uni, kugenggam tangannya dan kukatakan satu hal untuk menghiburnya, "Kau tau Uni, aku melihat Uni yang terdepan berada dalam bangunan Abi Musa, ada melati disana, percayalah Uni, Abi kembali kepadaNYA dengan Chusnul Khotimah...."

Tubuh uni bergetar hebat sesaat, kemudian dia menatapku dengan pandangannya yang masih lemah, tubuhnya kembali menggelosoh, tumpukan bantalnya didorong menjauh. Kugenggam erat tangannya, "Aku tau Uni kuat! Alloh memberikan segala sesuatu dengan takaranNYA yang tepat, meski sering kita tidak tahu...."

Jarinya bergerak! Aku terus saja mencerocos berusaha menjaganya untuk tetap sadar, apa hendak dikata? Uni memejamkan matanya lagi, bibirnya mengatup rapat meski masih kudengar lantunan nama indahNYA, Uni pingsan lagi.

"Aku tahu Uni kuat! Ayo Uni, waktunya kau bangun! Aku tau Uni kuat, sudah waktunya Uni membuka mata Uni...."

Tangan itu kembali tergerak, suara jama'ah sholat jenazah tampaknya juga sudah selesai, Uni membuka matanya, derai airmatanya belum juga reda, dengan tak mengerti apa yang tengah kurasakan aku terus berusaha menyeka airmatanya, kuberikan senyum yang terindah yang kupunya, mungkin lebih tepat pedih! Aku sedih melihat Uni seperti itu.

Terdengar suara gaduh mengiringi keranda diberangkatkan menuju makam, jenazah Abi telah ditandu menuju pemakaman umum, airmata Uni masih berleleran, sepanjang sisa waktu aku menyenandungkan dzikkir kepadaNYA, hafalan Al-ma'tsuratku pun kugeber, bibir Uni berkemak - kemik mengikutiku. Setengah jam kemudian, Uni tersenyum dan tertidur dengan pulas seakan  akan hendak berkata kepada Abi Musa, "Kuijinkan kau pergi...."

Rinai hujan pun menjadi musik tersyahdu di tengah teriknya matahari yang membakar musim kemarau yang gersang.

Sebuah cara tak menyerah disaat pusing menyerang dan rasa masam kembali naik ke mulut hingga terasa kecut.

#Inspirasiramadan #dirumahsaja #flpsurabaya