Ditengah hantaman sakit lambung lebih dari sepekan, namun rasa tak mau menyerah begitu saja masih kuat terpatri, maka saat bangun dengan kondisi bagus yang bisa saya lakukan adalah mengulik folder lama agar tak gugur dengan mudah. Sekalipun harus gugur dengan terhormat saja.

Cerpen ini terilhami dari kisah seorang guru TK yang sakit parah namun kehidupannya jauh dari kata sejahtera. 



SEJAHTERA

Semakin kesini, semakin nyaring dan lantang teriakan sejahtera padaku, kutulikan telingaku dan terus berjalan tanpa ragu, aku tak ingin menoleh ke belakang, karena aku takut akan membawa begitu banyak penyesalan.

“Tak pernahkah kau memikirkanku?”
Bisik Sejahtera membuat jantungku berdegup lebih kencang, aku mengibaskan kepala, kubersihkan pikiranku dari lamunan kotor itu.

“Pikirkanlah, setidaknya ada hak yang harus kau nikmati dalam pengabdianmu!”

Semakin keras aku menggelengkan kepala, semakin tajam hujaman kata – kata Sejahtera merasuk relung hatiku, menggedor – gedor benteng pertahananku, dan aku pun tertunduk lesu.

“Pikirkanlah…. Aku yakin tak akan ada seorang pun yang menyalahkanmu, semua akan maklum dengan kondisimu, dan mereka akan menerima sikap yang kau ambil saat berada dalam posisi yang tidak mengenakkan sepertimu.”

Keringat dingin semakin deras mengucur, tanaman imanku semakin layu dan hampir rubuh.

“Berapa tahun kau abdikan dirimu untuk sebuah keyakinan akan terwujudnya anak bangsa yang cerdas? Berapa tahun?”

Kupejamkan mataku dan kututup telingaku mencoba menahan gelombang suara sejahtera yang semakin mendayu – dayu.

“Hitung!”
Aku terpaku, memoriku merayap jauh pada masa 30 tahun lalu, saat aku baru lulus MA – Madrasah Aliyah (lulusan yang sangat bergengsi di kala itu) ditawari oleh seorang tokoh kampungku untuk mengabdikan diri di sebuah lembaga pendidikan pra sekolah yang bernama taman kanak – kanak “Khoirul Ummah”. 

“Abdikanlah kemampuan baca tulismu disini, kulihat kau mampu berbagi ilmu dengan baik pada siapa saja. Negara ini membutuhkan orang – orang sepertimu. Tak baik punya bakat kau sia – siakan dengan masuk pabrik….”

Demikian Ustadz Tohir mulai melayangkan jurus mautnya untukku. Dan banyak lagi petuah yang kudapat yang semakin memantapkanku tenggelam dalam dunia anak – anak, dunia yang sangat kucintai dengan segenap hatiku.

Dan mulailah kulangkahkan kakiku di hari Senin tanda perniagaanku dengan Tuhanku, kumantapkan kakiku melangkah menuju lembaga pendidikan dengan sebuah niatan, “Mencerdaskan Bangsaku”.

Dan pengabdianku kala itu mendapat apresiasi dua belas ribu rupiah (Rp. 12.000,-) untuk satu bulan, satu jumlah yang cukup lumayan, karena di tahun 1982 uang sekolah masih dua ratus lima puluh rupiah (Rp.250,-). Namun saat ini? Honor yang kuterima tiga ratus lima puluh ribu (Rp.350.000,-), tanpa tunjangan kesehatan, tanpa jaminan uang pensiun, tanpa apa – apa, tak ada apresiasi berarti atas apa yang telah kuberi dalam aku mengabdi, sedih….

“Bahkan anak didikmu sudah ada yang menjadi menteri, mana pernah dia mengingatmu!”
Ah, sejahtera! Kenapa kau begitu mengusikku.

“Sekarang lihat rumahmu?”
Kupandang berkeliling tempatku berteduh, rumah yang kubangun dengan jerih payahku selama hampir 30 tahun mengajar. Rumah mungil dengan batu bata yang belum disemen, sementara dapurku masih berdinding setengah bata setengah sesek. Orang kampung bilang rumahku klonengan. 

Tak apalah, hanya aku saja satu – satunya penghuni di rumah ini, kedua anakku telah pula pergi mengikuti suami mereka ke daerah lain, tak apa! Kusabarkan hati hingga penyakit tua dan segala macam komplikasi itu mulai menghampiri.

Merepotkan kedua anakku? Tak mungkin! Kehidupan guru honorer juga tak jauh beda denganku yang setengah mati memanjangkan nyali menghadapi kehidupan yang tak bersahabat lagi, semua diukur dengan materi. Ah, materi….

“Apa lagi yang kau pikirkan? Pikirkan aku! Tak ada kesempatan kedua, kau tahu itu!” pekiknya menggaung di telingaku.
“Pakailah uang SPP itu lebih dulu untuk pengobatanmu!”
“Diam kau sejahtera!” bentakku.

“Assalamu’alaikuuum….” Satu suara menyusul ketukan pintu rumahku yang terbuat dari seng.
Kuhentikan pertengkaranku, kuseret kakiku yang terasa berat karena asam uratku tengah kambuh.

“Bu Sumi ada?” tanya seorang lelaki muda yang gagah saat melihatku menyembulkan kepala dari ruang tengah yang hanya berbatas kelambu.

“Anak siapa ya?” 
“Saya Ikhwan, muridnya Taman Kanak – Kanak dulu!”
“Ikhwan?”

Memoriku berlompatan mencari dimana kusimpan file tentang Ikhwan yang mengaku muridku. Seguris senyumannya yang menonjolkan dua gigi kelincinya mengingatkanku.

“Ikhwan yang suka berlarian di meja?” tanyaku sambil tersenyum.
“Iya, Bu!”
“Yang suka menginjak anak bebeknya Bu Jiah?”
“Betul sekali, Bu! Apa….”
“Subhanalloh…. Ikhwan!”

Sesosok tubuh itu mendekat dan mencium tanganku dengan ta’dzim. Kulihat cahaya wajahnya yang berbinar – binar bahagia saat menemukanku. Kududukkan dia di sofa lapukku, kuusap airmata haru karena ada bekas murid yang mengingatku.

“Ada gerangan apa kamu mencari Ibu, Nak?”
“Saya rindu pada Ibu, lama saya mencari waktu agar saya bisa kemari bertemu Ibu, saya ingin berterima kasih….”
“Untuk apa?”
“Untuk kehadiran Ibu dalam mimpiku!”
“Mimpi?”
“Iya, Bu!”
Dan aku pun terpaku mendengar cerita tentang kehidupannya.

“Saya adalah seorang BeDhe (Bandar Gedhe) yang punya begitu banyak jaringan operasi untuk menyebar butir – butir laknat penghancur generasi cerdas Indonesia. Semua usaha saya begitu menjanjikan, saya punya tiga rumah mewah, saya hidup di surga dunia, apa pun yang saya inginkan saya bisa memilikinya.”

Terbayang segala cerita Ikhwan berlarian di kepala, betapa Sejahtera begitu bahagia tertawa bersamanya, melompat kesana kemari dalam warna - warna yang cerah.

“Hingga suatu malam saya bermimpi…,” suara itu terhenti.

Matanya berkaca – kaca. Aku sudah beruraian airmata mendengarkan ceritanya.

“…. Saya berjalan di sebuah belantara yang sangat gelap, tak ada setitik cahaya pun disana, ada banyak api berlompatan disana, tapi yang saya lihat hanya gelap dan gelap, saya terus berjalan berusaha mencari terang, namun saya sampai di ujung perjalan yang menghentikan langkah saya…,” kembali suara itu bergetar, selaput air mengambang di pelupuk matanya. 

Kutahan nafasku berusaha menyelam ke dasar hatinya.

“…. Sekujur tubuh saya kaku, sesuatu menjalar dari kaki naik ke atas kepala, saya tersedak, sosok hitam mengerikan tengah berdiri di samping kiri saya, mata saya terbeliak, nyawa saya seakan hendak melayang perlahan dan akhirnya terhenti di tenggorokan….”

Hening menyergap!

“…. Sesosok berbaju putih membawa terang menghampiri saya dan berkata, ‘Pulanglah Ikhwan…. Segala sesuatu yang dipinjam itu harus dikembalikan….’ Suara lembut itu menghilang, ketika saya berusaha menggapai terang itu, sesosok tubuh berbaju putih itu berjalan menjauh di sebelah kanan saya, anehnya wajah ibu menyembul mendekat sambil tersenyum merentangkan tangan seakan hendak memberikan pelukan. Saya pun terbangun dengan pekikkan ‘Allohu Akbar!!!’….”

Aku? Tersenyum sambil merentangkan tangan?

“…. Setelah itu saya pun bertobat, Bu! Saya kembali pada Alloh, memperbaiki semua kesalahan saya, dan Insyaalloh sekarang saya sudah bersih. Karena itu saya mencari Ibu…. Saya ingin berterimakasih.”
Sekali lagi, diambilnya tangan keriputku, dicium dengan ta’dhim dalam senyum penuh rindu, digenggamkannya padaku sesuatu dan berpamitanlah  Ikhwan padaku sambil berjanji kapan – kapan jika ada waktu akan kembali menjengukku.

“Apa ini Ikhwan?”
“Hadiah, Bu!”
“Tak perlu Ikhwan, Ibu sudah senang kau ingat Ibu dan akhirnya datang menjengukku!” ujarku sambil mengulurkan kembali sesuatu dalam genggaman tanganku.
“Terimalah, Bu! Saya akan sangat senang jika Ibu mau menerimanya.”
“Baarokalloh….” Do’aku menerima pemberiannya.

Kuseret langkahku keluar mengikutinya hingga ke pintu, kulihat mobil sedan berwarna putih tengah menunggu, Ikhwan tersenyum padaku dan menghilang dari pandanganku bersama rasaku yang mengharu biru.

Kulihat apa yang ada di genggamanku, sebuah amplop, kubuka perlahan dengan hati yang tak karuan. Sebuah benda berkilauan persegi panjang dengan tulisan satu ons (100gr) 99 karat. Sebuah tulisan di atas kertas putih kubaca dengan gemetar.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Teruntuk Bunda Guru yang telah begitu tulus menuntunku dan kawan – kawanku.
Tak ada yang mampu melukiskan terima kasih atas sebuah hidayah yang diberikan-NYA dengan kedatangan Ibu dalam mimpiku. Maka apa yang saya beri ini tak ada arti apa – apa untuk semua itu. Namun, semoga yang sedikit ini mampu memberi arti dalam kehidupan Ibu.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ikhwan

Aku menangis, kulihat di ujung sana sejahtera tersenyum malu bersama tangisku, sebuah sujud syukur kuhaturkan untuk semua ni’mat yang tak terukur. 

(Fathiir : 29 =  Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.)

Semoga Alloh mudahkan semua usaha kita untuk terus melaju di jalanNya, Lahumul Fatihah....

#Inspirasiramadan #dirumahsaja #flpsurabaya #Kakmoraberkisah