Esok, 17 Ramadan terjelang 

Maka sekumpulan ingatan berdatangan akan kisah kelahiran putra pertama saya.

Kelahiran yang lebih lama dari perkiraan, bahkan lebih sebulan dari HPL yang ditetapkan. 

2008
Namun, saya lebih suka mengingat dia lahir di bulan Ramadan, tepatnya 17 Ramadan. 

Sebulan sebelumnya saya sudah mengalami flek-flek yang menunjukkan tanda-tanda kelahiran. Namun kontraksi yang luar biasa, tampaknya hanya kontraksi palsu saja. Sehari, dua hari, bahkan sampai berhari-hari ia tak kunjung nongol. 

Saya sampai harus bersembunyi dari pertanyaan orang-orang, "Kapan melahirkan? HPL-nya kelewatan jauh yaaa...."

Sebulan bersembunyi, ada rasa lelah. Akhirnya kami mencari dokter baru untuk konsultasi kembali apa yang sesungguhnya terjadi. 

Riwayat kehamilan saya yang memang tak bagus. Di usia kandungan 2,5 bulan saya harus bed rest total karena pendarahan hebat. Waktu itu dokter berkata, "Saya akan berikan suntik penguat, kalau Ibu bisa melewati masa kritisnya, Insyaallah anaknya akan bertahan...."

Dengan tangis yang ditahan, akhirnya satu bulan saya harus diam diatas kasur untuk mempertahankan janin yang sudah ada didalam kandungan. 

Masa kritis dilampaui, namun kembali harus masuk RS di usia kehamilan 5 bulan, saya kena tipes. Terbayang rasanya saat badan tak bertenaga, lemah lunglai segalanya, dan harus opname seminggu lamanya. Alhamdulillah....

Saya mengonsumsi preabor (sebuah obat penguat kehamilan) sejak usia kehamilan 2.5 bulan sampai 6 bulan. Kebayang bagaimana rasanya minum obat setiap hari?

Nah, pada saat HPL terlampaui, saya harus kembali mengonsumsi obat-obatan yang merangsang kontraksi. 

Itulah salah satu sebab kenapa saya tak begitu menyukai Rumah Sakit. 

Hari itu sudah waktunya kontrol puasa Ramadan, pada jam berbuka saya sudah makan-makanan kecil sambil menunggu jam periksa dokter. Sudah 10 hari saya konsumsi obat perangsang kontraksi, dan tak nampak tanda-tanda kelahiran. 

"Janin sudah lebih bulan, bagaimana? Ketuban sudah keruh, nanti akan berbahaya bagi bayinya." Demikian dokter kami memberi tahu.

"Jadi dokter?!"

"Bisa kita bantu keluar, dengan kata lain siap operasi cesar."

Saya tercekat, bayangan saya adalah aduh salah makan deh! Kenapa tadi harus makan duluan saat berbuka. Bila tau akan dioperasi akan lebih baik tadi tak makan saja.

Melihat tingkat stres saya yang sudah tinggi, suami bilang, "Kami siap kapan saja dokter...."

"Malam ini...."

Saya mewek sudah, saya telpon orang tua memberi kabar kalau mau dioperasi malam itu juga, dan memohon doa mereka. Akhirnya jam 22.20 datanglah manusia mungil dengan masih diselimuti ketuban berwarna kuning, dan saat ketubannya dipecah terdengar tangisan terkejutnya. 

Alhamdulillah....
Bayi laki-laki itu diberi nama kakeknya Muhammad Zakki Mubaarok....

Lahir dengan berat 4,2 kg dengan panjang 40cm, tangisnya yang kuat membuat saya menangis. Saya dimasukkan ruang karantina. Karena kesalahan saya makan sebelum operasi, saya muntah sepanjang operasi cesar pertama saya. 

Esok, dia akan berusia 13 tahun, sekarang dia kelas 6 dan tengah berjuang untuk kelulusannya dari MI Raudhatun Nasyi'in. Sekalipun wabah COVID melanda, dia tetap mengerjakan ujian sekolah dengan online di rumah. 

Selalu merawat percaya, bahwa perjalanan manusia Alloh telah menyiapkan alurnya. Tinggal bagaimana kita menetapi pilihan-pilihan terbaik yang disiapkanNya. Apakah bisa? Insyaallah jika kita berpedoman pada Alquran dan Sunnahnya. 

Saya tak mau menyerah dengan mudah, sekalipun saat ini migren tengah menyerang. Saya menulis dengan harapan semoga curcol saya tetap memberikan kemanfaatan bagi siapapun yang membacanya.

Maturnuwun FLP.

#Inspirasiramadan #dirumahsaja #flpsurabaya