Masih dalam kondisi flu saat saya harus ke
sekolah untuk berkoordinasi dengan guru-guru terkait strategi pembelajaran beberapa
pekan berikutnya.
Satu WA masuk, “Bu Guru, tolong beri pengertian Bapaknya anak saya, Bapaknya ingin anaknya diluluskan tahun ini….”
Kepala yang masih cenut-cenut mencoba
menghadirkan sosok murid kami yang disebutkan. Lelaki kecil dengan kebahagiaan
barunya saat mulai bersekolah bersama kami. Baru kelompok A. Anak yang cukup
mampu mengikuti tugas-tugas yang diberikan. Namun dalam beberapa hal masih
membutuhkan stimulasi agar lebih mandiri dan memiliki motivasi belajar yang
tinggi. Memang menjadi guru di desa kecil seperti saya harus siap dengan banyak
hal tak terduga. Memori lain pun berlompatan. Ada banyak hal besar yang telah
saya lewati sejak menjadi seorang guru di tempat kami.
Kasus seperti ini beberapa kali (bila tak
dibilang sering) terjadi. Orangtua yang meminta anaknya diluluskan dengan
banyak alasan pendukung yang mereka miliki.
Sebenarnya apa yang orangtua inginkan? Yang
terbaik untuk anak kah? Atau yang terbaik sesuai mau mereka? Diskusi yang kami
buka berlangsung cukup alot.
Maka…,
“Begini Bu Guru, saya mau minta tolong agar
anak saya diikutkan kelulusan tahun ini….”
“Alasannya?”
“Tahun ini dia berusia 6 tahun 2 bulan, saya pikir
cukup baginya untuk melanjutkan ke SD….”
“Pertimbangan Bapak?”
“Sertifikasi saya habis tahun 2000 sekian, saya
takut tak mampu membiayai kuliah anak saya….”
Potret Bapak yang sangat peduli tentang Pendidikan
anaknya. Ada berapa banyak orangtua yang peduli akan Pendidikan anaknya?
Kebanyakan akan cukup berbahagia saat anak mulai menghasilkan uang di usia yang
masih muda, dan kemudian lupa mematangkan emosinya. Sehingga banyak orangtua
berjiwa anak-anak yang saya jumpai (bahkan mungkin saya juga belum 100% matang
emosinya).
Maka diskusi semakin berat terasa, “Apakah
Njenengan gak ingin putranya sekolah dengan biaya sendiri atau mendapatkan
beasiswa?”
“Sangat ingin Bu Guru….”
“Lantas apa yang harus kita takutkan?”
“Saya hanya ingin menata kehidupan anak saya di
Masa Depan. Dia laki-laki, kelak dia akan menjadi pemimpin keluarganya,
tugasnya berat, saya ingin mempersiapkannya lebih cepat.”
“Boleh saya tanya?”
“Monggo Bu Guru….”
Saya memandang tajam ke arahnya, “Saya salut
dengan pilihan Njenengan yang tak umum di lingkungan sekitar Njenengan, memilih
kuliah dan menjadi guru, rasanya suatu hal yang luar biasa. Kepedulian
Njenengan juga luar biasa, bukankah itu sebuah bekal yang cukup untuk
membesarkan putra Njenengan?”
Sang Bapak terdiam, “Saya sekolah terus,
kuliah, dan menjadi guru karena terinspirasi oleh seseorang. Jasanya sama saya
akan selalu saya kenang.”
Berceritalah Sang Bapak tentang seseorang yang
selalu ada saat ia membutuhkan bantuan dengan segala hal yang berhubungan
dengan sekolahnya, dulu….
Saya juga mengenal sesosok manusia yang
disebutkannya. Memang yang disebutkannya adalah orang baik yang juga memberi
warna dalam hidup saya.
“Jadi, Njenengan sekolah dan menjadi seperti
sekarang karena inspirasi, bukan? Bukan hanya karena biaya sekolah?”
Tampaknya dia mulai bisa menerima diskusi kami….
“Boleh saya sampaikan sesuatu?”
“Monggo Bu guru….”
“Kalau Bapak bisa berhasil seperti sekarang
karena inspirasi, maka mulai sekarang mari ceritakan hal-hal yang menginspirasi
putra putri kita agar menjadi orang yang tak mudah menyerah, mereka yang gigih
berjuang, dan mereka yang berdiri di barisan pemenang. Sebagai guru yang
berusaha mengenal anak didiknya, saya sampaikan kasihan putranya bila harus
diluluskan sekarang, dia baru menikmati masa sekolahnya, dia baru belajar
bekerjasama. Dan masih banyak tugas perkembangan yang harus kami pantau untuk
kesiapannya melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan kata lain, dia tak
bisa kami luluskan tahun ini….”
Sekalipun ada sinar kecewa dimatanya, namun
saya tahu Sang Bapak memahami betul apa yang saya sampaikan.
Setelah mencapai mufakat bahwa putranya tak bisa kami luluskan, Sang Bapak pamit sambil mengatakan akan mencerna semua kata-kata saya terkait anaknya dan juga pendidikannya.
Maturnuwun Bapak, untuk sebuah diskusi yang
cukup rumit, karena setelahnya saya tak mampu bangun lagi karena kelelahan yang
sangat. Diskusi memang melelahkan, namun akan ada hikmah terjelang sekaligus
pelajaran baru kita dapatkan.
Tulisan gak penting di hari keempat, saya hanya tak mau menyerah dengan mudah, terimakasih FLP.
#inspirasiramadan #dirumahsaja #flpsurabaya #kakmoraberkisah
0 Komentar