Saya tak tahu kapan racun itu disajikan 
Hanya kebencian itu kemudian bertahta dengan jumawa
Dan racun itu mulai melumpuhkan segenap jiwa raga
Sesak, tak mampu rasanya bernafas dengan lega

Senyum itu entah kapan dicuri dari bibir yang merah merona
Ia entah sejak kapan menjadi hitam berjelaga
Yang keluar darinya hanyalah semburan bara memanaskan udara
Dan sungguh gurat benci itu menyebar ke mata

Yang ada kini hanyalah abu kenangan 
Tak ada lagi kebaikan dimatanya
Tak ada lagi ketulusan darinya datang 
Yang ada hanya sampah dan keluhan

Betapa tak adilnya kehidupan 
Menyalahkan Tuhan hanya karena seseorang

Wahai jiwa yang tersesat 
Buka mata hatimu lebar-lebar
Ada banyak luka menggurat
Di belahan dunia yang lebar

Wahai jiwa yang tersesat 
Kembalilah bertobat
Sebelum Tuhan melaknat
Dan engkau sekarat
Sebuah puisi yang saya tulis
13 Mei 2017

Menulis adalah bagian dari menjaga "mental healthy" bagi saya, karena setelah menulis maka segenap rasa negatif yang bergentayangan bisa pergi dengan tenang. Namun jangan dikira rasa itu akan selamanya terbang, sesekali ia hinggap, saat hidup kembali terasa berat, saya memilih memaafkan saya sebelum meminta dan dimintai  maaf oleh orang lain. Agar saya selalu punya hati yang lapang. Hahaha!



Sebenarnya hari ini kondisi lambung saya jauh lebih baik, gangguan masih terasa karena  saya belum bisa BAB dengan normal. Tuh, kan! Sembuh itu tak serta merta, ada proses dan tahapan yang harus dilaluinya. Saya memilih mengabaikan hampir semua chat WA.

Kenapa? Sekali saya buka maka kewajiban saya untuk membalasnya meski sekedar menjawab salam dan mengaminkan doa menjadi sehat wal afiat. Namun saya masih memilih tak berjauhan dengan bantal guling, bertekad kuat sembuh kembali. Maka istirahat tetap pilihan terbaik.

Tiba-tiba saya diingatkan puisi diatas oleh FB, ingatan saya melayang pada banyak kejadian di masa lalu yang rasa situasinya dipenuhi oleh kebencian.

Saat itu ada seorang teman yang benar-benar dibakar habis oleh kebenciannya. Maka segala hal baik orang yang dibencinya bukanlah kebaikan. Menurutnya semua yang dilakukan orang yang dibenci itu adalah sebuah kejahatan. Maka jalan paling tepat adalah menyiarkan semua keburukan orang yang dibencinya.

Sesaat terlihat sangat hebat menyiarkan banyak hal negatif tentang orang lain. Tapi dia lupa tentang pepatah, "Anjing Menggonggong kafilah berlalu...."

Dan, saya memilih jadi kafilah yang terus berlalu tak peduli orang bilang apa. Maka satu-satunya yang bisa lakukan menulis puisi untuk mencurahkan segenap rasa yang saya rasakan.

Mungkin terlihat kuno, menuliskan rasa lewat puisi, namun puisi hanya akan dipahami bagi mereka yang mau mencerna sebuah diksi yang mereka baca, agar apa yang disampaikan penulis sampai pula ke mereka. 

Kalaupun tak 100% paham, setidaknya puisi tetap menjadi rangkaian kalimat yang indah dan menggoda siapa saja untuk memikirkannya.

#Inspirasiramadan 
#dirumahsaja 
#flpsurabaya 

#KembaliBerpuisi
#CintaLiterasi
#KeepHamasah
#AllohuAkbar!!!