Sebenarnya hari ini sangat ingin menyelesaikan
resume kulWAP kemarin, namun apa daya tenaga dan fikiran tak mampu dipaksa
untuk menuliskannya meski tinggal edit sedikit-sedikit. Alhasil saya menulis
saja apa yang ingin saya tulis, yang ringan-ringan saja, mengalir tanpa beban,
dan tetap memberikan kemanfaatan bagi yang membaca. Insyaalloh....
Saya menulis di penghujung waktu menjelang berbuka,
saat raga semakin lunglai tak berdaya.
"Bunda, Ais Sayang sama Bunda.... Lekas
sembuh, ya...." Ucap Si Bungsu sambil mencium Emaknya.
Ramadhan yang luar biasa, Hari ke-9 dan saya jatuh
sakit hampir 3 hari lamanya merasakan oleng yang aneh. Meski tetap memaksa diri
untuk beraktivitas, namun rasa lelah begitu mudah menyapa, akhirnya merasa
lunglai tak berdaya.
"Bunda, kalau sakit jangan lama-lama,
yaaa...." Ucapnya sambil mengelus dahi Emaknya, mencium pipi kanan kiri
dan menatap lembut Sang Emak.
Maka segera saja barisan memori memenuhi kepala
sejak kehamilan kedua, saat Aisyah masih dalam kandungan Emaknya. Ya, kami
melanglang buana berdua semenjak sadar dia ada, sekuat tenaga saya berjanji
untuk bahagia. Maka sekalipun rasa sakit dan kesulitan menerpa, saya akan
segera memaksa diri memasang senyum terindah dan membisikkan kalimat, "Aku
bahagia...."
Mengingat kehamilan pertama yang cukup sulit karena
beberapa kali harus menginap di rumah sakit, janji bahwa kehamilan kedua ini
harus menyemangati diri sehingga tak perlu sambang rumah sakit sama sekali,
meskipun akhirnya saya tetap harus melakukan operasi saat melahirkannya.
Mata temaram melihat senyum cerahnya sebelum
kemudian benar-benar terpejam. Aisyah memang seperti matahari yang cerah dan
senantiasa menghangatkan. Apapun yang dialaminya, ia memiliki alasan untuk
menikmati setiap kejadian dengan caranya dan dengan tawa renyahnya.
Kemampuan self healing-nya cepat sekali, sehingga saya sering
terperangah.
Aisyah cukup matang di usia 4 tahun. Bila menelisik
satu demi satu tugas perkembangan, agaknya ia melewati batas rata-rata. Ada
banyak hal yang berubah sejak kehadirannya. Saya lebih memilih berdialog
daripada memberikan petunjuk dengan kata lain memerintah (seperti yang saya
lakukan pada kakaknya dulu.... Maafkan Bunda ya, Nak....).
Hampir setiap hari di Bulan Ramadan, Sang Emak
memiliki jadwal keluar mengisi acara buka bersama dan pondok Ramadan, entah itu
sekolah, TPQ, Pondok Pesantren, atau juga komunitas-komunitas social yang
menggelar acara semarak Ramadan. Bahkan sampai 3 hari menjelang HPL sang Emak
masih berkeliling dengan kaki yang luar biasa bengkak. Dan, bersyukur pada
Alloh, anak-anak itulah yang menjadi guru saya memberi arti kata bahagia.
Kebiasaan mengajaknya bicara sejak dalam kandungan,
pesan agar ia bisa bekerjasama saat Emak harus tampil di depan, terpatri betul,
meski sikapnya tak bisa dikatakan 100% sesuai harapan Emaknya.
Seperti suatu sore….
"Bunda, kenapa sih kita harus puasa?"
tanyanya saat kami berdialog tentang puasa.
"Agar kita diangkat derajatnya menjadi orang
yang taqwa...."
"Alloh suka kan, Bunda?"
"Insyaalloh...."
"Tapi...," Terdengar suara renyahnya
menggantung, dipasangnya mimik muka manyun.
"Tapi, apa?"
"Tapi..., kata Bunda kalau Aisyah gak makan
gak punya energi!"
Gotcha! Emaknya tertohok, itu bahasa persuasif yang
biasa disampaikan Emaknya bila ia tak mau makan.
Maka cerita panjang kali lebar tentang ramadan pun
disampaikan Emaknya, "Nah, Aisyah mau puasa?" demikian pungkasan
cerita panjang lebar sang Emak. Dengan gaya lucunya dia bilang, "Aisyah
pikir-pikir dulu, deh!"
Dan, beberapa hari lalu ia berkata, “Bunda, Ais mau
deh berpuasa….”
Namun sayang sang Emak sedang tumbang sehingga belum mampu maksimal mengawal puasa ramadan Aisyah kali ini.
Jujur saja, saya menulis kali ini hanya tak ingin
gugur dengan mudah, namun demam yang bersemayam tak mampu saya taklukkan dengan
menulis hal lain seperti yang saya janjikan. Terimakasih FLP (KakMora79).
#inspirasiramadan #dirumahsaja #flpsurabaya
1 Komentar
MasyaAllah tabarakallah..
BalasHapusTetap semangat kak moraa ��